Wisata Budaya : Mengenal 5 Suku Asli dan Tradisional yang Berada di Indonesia
21 September 2024 48x budaya, Bus Pariwisata, Bus pariwisata Makassar, Els queen wisata, Nature, obyek wisata, paket tour, rental bus makassar, rental mobil makassar, sewa bus makassar, Sewa hiace Makassar, Sewa long elf makassar, Tour Makassar, Tour Toraja
Wisata Budaya – Indonesia memiliki beragam suku bangsa yang tersebar diseluruh wilayahnya. Diantara suku – suku tersebut, terdapat beberapa suku yang masih sangat tradisional dan menganut adat istiadat yang sangat kental, bahkan hidup terasing dari dunia luar. Berikut ini tim Els Queen Wisata merangkum 5 suku asli di Indonesia yang masih sangat tradisional sebagai referensi bagi wisatawan yang tertarik dengan wisata budaya tentang keragaman suku di Indonesia :
- Suku Mante
Suku Mante mendiami daerah Aceh, dipercaya sebagai suku tertua di Aceh dan tinggal di daerah hutan belantara Aceh diperkirakan sejak 3.000 SM. Suku Mante memiliki beragam sebutan yaitu Mantir, Mantra, Manteu, dan Bante. Orang Suku Mante berperawakan kecil dan lincah dengan tinggi badan sekitar 60 – 70 cm, tinggi maksimalnya adalah 1 meter. Orang Suku Mante memiliki warna kulit sawo matang dengan rambut lurus.
Mereka sangat menghindari kontak dengan dunia luar, hal ini yang membuat Suku Mante sulit untuk dijumpai karena selalu berpindah pindah tempat tinggal di dalam hutan belantara. Suku ini suka tinggal di dalam gua – gua. Bukti keberadaan suku ini hanyalah berupa jejak kaki kecil dan adanya video amatir seseorang yang tidak sengaja merekam sosok yang diduga sebagai orang Suku Mante tengah kaget karena keberadaan diketahui kemudian langsung berlari dengan sangat cepat.
2. Suku Anak Dalam
Suku Anak Dalam atau SAD dan biasa juga disebut Orang Rimba, tinggal di Provinsi Jambi Sumatera Selatan. Suku Anak Dalam berjumlah sekitar 200.000 orang dan suku ini termasuk suku terasing yang ada di Indonesia. Sejarah suku ini menyebutkan bahwa sebenarnya mereka adalah orang Maalau Sesat yang lari menuju hutan di sekitar Air Hitam di wilayah Taman Nasional Bukit Duabelas, maka mereka diberi julukan Moyang Segayo. Namun ada versi lain yang menyebutkan bahwa Suku Anak Dalam berasal dari wilayah Pagaruyung yang mengungsi ke wilayah Jambi, hal ini diperkuat dengan adanya kesamaan dengan Suku Minangkabau dalam hal bahasa dan adat.
Orang Suku Anak Dalam memiliki postur tubuh sekitar 155 cm hingga 170 cm, dengan bentuk kepala lonjong, dan memiliki mata yang agak sipit. Mereka hidup dari berburu di hutan dan meramu hasil hutan. Suku Anak Dalam tidak memiliki tempat tinggal tetap, mereka berpindah pindah tempat tinggal yang mereka sebut “Melangun”, jika ada salah satu anggota keluarga yang meninggal atau sumber daya alam di sekitar mereka tersebut telah habis serta adanya ancaman dari luar. Mereka akan berpindah tempat tinggal, jika ada keluarga yang meninggal karena dipercaya tempat tersebut akan mendatangkan kesialan dan mereka juga akan sedih melihat barang – barang peninggalan almarhum di tempat tinggal yang lama. Prosesi yang mereka lakukan sebelum melangun jika ada anggota keluarga yang meninggal yaitu dengan meletakkan jenazah diatas beli berukuran 1 x 2 meter lalu disekitarnya diletakkan barang – barang milik almarhum. Namun kini keberadaan Suku Anak Dalam semakin terancam karena sumber daya hutan yang semakin berkurang dengan adanya pembalakan liar dan perusakan hutan.
3. Suku Polahi
Suku Polahi tinggal di pediaman Gorontalo dan ada sejak jaman penjajahan Belanda. Nama Polahi berasal dari kata “Lahi – lahi” yang artinya sedang dalam pelarian, yaitu berarti orang Suku Polahi dahulu merupakan sekumpulan orang yang lari dari Belanda karena tidak mau membayar pajak. Mereka kemudian tinggal di Desa Tamaila Utara Kabupaten Gorontalo. Hal ini membuat orang Suku Polahi terbiasa dengan kehidupan di dalam hutan dan beradaptasi dengan baik. Kehidupan Suku Polahi yang terasing dan tidak terjangkau dunia luar membuat mereka kurang memiliki tatanan sosial, etika, moral, pendidikan dan agama. Beberapa akibat keterasingan ini antara lain :
- Tidak mengenal baca tulis. Mereka tidak mendapatkan pendidikan formal dan tidak mampu untuk berhitung. Angka yang dapat mereka hitung hanya sampai angka empat, selebihnya akan disebut “banyak”. Hal ini juga mengakibatkan mereka tidak mengenal sistem kalender dan nama bulan pada umumnya.
- Memiliki agama tradisional. Suku Polahi tidak memiliki agama yang ada pada umumnya, namun mereka memiliki agama tradisional dan memiliki 3 tuhan yaitu Pulohuta (yang menguasai tanah), Lati (penguasa pohon besar dan air terjun), dan Lausala (merupakan sosok jahat yang haus minum darah).
- Kehidupan Suku Polahi. Hidup jauh di alam belantara membuat Suku Polahi bekerja dengan bercocok tanam dan berburu binatang hutan. Mereka tinggal di rumah sederhana yang tidak memiliki dinding. Dahulu pakaian mereka berupa dedaunan dan kulit kayu, namun sekarang mereka mulai mengenakan pakaian seperti pada umumnya. Suku Polahi juga memiliki kebiasaan makan yang tak lazim, yaitu mereka hanya makan satu hari sekali pada pukul 5 sore dengan umbi – umbian sebagai makanan pokok.
- Pernikahan sedarah. Kehidupan yang tidak memiliki tatanan sosial dan etika moral yang cukup, membuat Suku Polahi terbiasa melakukan pernikahan sedarah. Pernikahan antara ibu dan anak, antar saudara kandung, bahkan memiliki lebih dari satu istri merupakan hal yang biasa bagi mereka. Hal ini juga disebabkan karena kehidupan mereka yang terisolasi dan lingkup pergaulan Suku Polahi yang terbatas pada kelompoknya.
4. Suku Korowai
Suku Korowai terletak di pedalaman Papua Selatan, dan keberadaannya baru ditemukan sekitar 35 tahun yang lalu oleh misionaris dari Belanda yang bernama Johanes Veldhuizen. Mereka pada awalnya tidak mengetahui akan adanya manusia selain mereka sampai tahun 1970. Suku Korowai memiliki populasi sekitar 3.000 orang dan tinggal di rumah tinggi yang memiliki ketinggian hingga 50 meter. Hal ini untuk menghindari binatang buas dan roh jahat yang mereka sebut “Laleo”. Menurut mereka Laleo merupakan suatu makhluk yang menyerupai mayat hidup yang keluar pada malam hari. Orang yang tidak termasuk dalam kelompok mereka bahkan orang Papua sekalipun akan disebut dengan laleo.
Menurut kepercayaan orang Suku Korowai, semakin tinggi rumah yang mereka buat, akan semakin terhindar dari roh jahat. Pohon yang digunakan untuk membangun rumah bukanlah sembarang pohon, namun hanya pohon besar dan kokoh, lalu pada bagian pucuk pohon tersebut akan dibangun untuk tempat tinggal mereka. Rumah Suku Korowai hanya mampu bertahan selama 3 tahun saja, karena mereka hanya menggunakan bahan alam. Suku Korowai sangat menjunjung tinggi leluhur mereka dan mereka percaya bahwa rumah tinggi tersebut warisan dari leluhur mereka.
Suku Korowai hidup dengan berburu anjing dan babi di hutan. Namun untuk hewan babi mereka konsumsi jika sedang melakukan ritual adat tertentu. Suku Korowai sangat mencintai alam, dan mereka sangat menjaga keseimbangan alam dan hubungan antar manusia. Mereka hidup dengan kesetaraan antar sesama dan pada Suku Korowai tidak dijumpai adanya kepala suku maupun strata sosial, karena semua anggota suku adalah sama.
5. Suku Togutil
Suku Togutil disebut dengan Suku Tobelo Dalam yang tinggal di pedalaman Halmahera Utara, Maluku Utara. Untuk diketahui, orang di Suku Togutil sebenarnya tidak ingin disebut Togutil, karena arti dari togutil adalah “terbelakang”. Mereka bermukim di hutan belantara dan membangun rumah yang terbuat dari kayu dan bamboo, serta bahan – bahan alami lainnya. Suku Togutil hidup dengan mengumpulkan sagu, berkebun, berburu, mencari ikan di sungai, selain itu mereka juga mengumpulkan tanduk rusa, damar, dan telur megapoda untuk dijual kepada masyarakat yang tinggal di pesisir.
Tempat tinggal Suku Togutil masih berpindah – pindah, jika sumber alam di sekitar mereka sudah habis, maka mereka akan berpindah lagi ke tempat lain. Namun beberapa orang dari Suku Togutil berhasil dibujuk dan diberi fasilitas tempat tinggal oleh pemerintah serta kesempatan untuk berbaur dengan masyarakat lain. Namun mereka lebih memilih untuk tinggal di hutan daripada tinggal di rumah yang telah disediakan. Hal ini mungkin disebabkan karena belum ada jaminan dari pemerintah untuk tetap mempertahankan tradisi budaya mereka. Suku Togutil belakangan ini mulai kekurangan pangan dan sumber daya alam, hal ini disebabkan karena perluasan hutan dan pemanfaatan hutan untuk pembangunan yang menyebabkan mereka semakin terhimpit.
Demikian 5 suku asli di Indonesia yang telah dirangkum oleh tim El’s Queen Wisata Makassar. Untuk informasi paket tour maupun sewa bus pariwisata di Makassar dapat menghubungi kami di nomor WhatsApp 0823-4464-2837.
Kontak Kami
Apabila ada yang ditanyakan, silahkan hubungi kami melalui kontak di bawah ini.
-
Hotline
082344642837 -
Whatsapp
6282344642837 -
Messenger
https://www.facebook.com/els.lebang -
PIN BBM
BBM123 -
LINE ID
LINE123 -
Email
ilebang18@gmail.com
Belum ada komentar